Deni duduk di teras rumahnya. Sebatang rokok
terselip di antara sela jari telunjuk dan tengahnya. Asap mengepul dari
mulutnya. Nikotin dari tembakau yang terbakar membuat pemuda berambut
spike itu lebih nyaman dan tenang. Ujung bibirnya tertarik ke atasa saat
ia mulai mengingat kejadian semalam. Tapi senyum di wajahnya tak
bertahan lama. Deni tahu sikapnya itu akan turut menyakiti hati seorang
gadis yang dipermainkannya. Rasa sesak menyelinap dalam sela hatinya
jika membayangkan gadis – yang tanpa disadari telah dicintainya – itu
terluka. Aku sudah tidak dapat mundur lagi, batinnya.
Brum. Deru sebuah motor sport yang berhenti di
depan rumah Deni membuat perhatian pemuda itu terpecah. Seorang pemuda
yang sudah amat dikenal Deni turun setelah melepas helmnya. Deni
menjatuhkan batang rokoknya, menginjaknya hingga tak ada bara api yang
menyala. Sambutan hangat ia berikan pada sang tamu. “Aku baru kepikiran
mau ke rumahmu,” ujar Deni. Ia mengulurkan tangan, sekedar memberikan
jabat tangan persahabatan yang sangat khas. Menjabat sekilas, mengepal
dan saling membenturkan kepalan tanga itu.
“Ya, aku sedang bosan di rumah,” sahut tamu Deni.
Ia bergerak dan menghempaskan pantatnya pada bangku panjang dari ayaman
rotan. Deni mengikutinya.
“Ada kabar apa?” tanya Deni. Tangan kanannya
menyuruk ke dalam saku, mengambil bungkus rokok. Ia menawarkan pada
tamunya. Sambutan yang cukup ramah didapatnya. Mereka sama-sama mulai
menyulut batang rokok yang terselip di antara bibir mereka. Asap
mengepul cukup pekat.
“Masih sama seperti kemarin, mungkin akan lebih
baik sekarang… Kita sedang menunggu reaksi mereka. Bagaimana denganmu?
Pestanya menyenangkan?” Pria itu menoleh, memandang Deni, menunggu
jawaban.
Deni menyeringai. “Sangat menyenangkan, meski ada sedikit kekacauan. Tapi aku cukup puas,” jawabnya.
“Kau berkelahi dengannya ya?” tebak pria itu.
“Ya, seperti itulah, Jef. Aku suka memancing amarahnya, menyakitinya secara pelan-pelan.”
“Kau memang benar-benar tega!” sindir Jefri.
Mimik muka Deni berubah, rahangnya mengeras, tangan
kanan mengepal erat, sorot tajam penuh kebencian tersirat jelas dari
matanya. “Itu harga yang pantas untuk mereka.”
“Ya, mungkin begitu tapi aku harap hanya sebatas
ini yang kita lakukan. Aku tidak mau terlalu dalam membuat orang
menderita, apa yang terjadi padamu tidak sepenuhnya salah mereka,” sahut
Jefri seraya menepuk bahu Deni. Ia selalu mendukung apa pun yang
dilakukan Deni. Namun, Jefri juga berharap temannya itu mau sedikit
membuka pintu maaf untuk orang-orang yang sudah membuatnya menderita.
***
Seorang gadis dengan rambut panjang terikat ke
belakang duduk termenung di dekat jendela kamar hotel. Ada segaris warna
kehitaman di bawah garis kelopak bawah matanya. Gadis itu tidak
mendapat tidur yang cukup malam tadi. Bahkan mungkin dia memang tidak
tidur. Kakinya ditekuk, kedua tangan memeluk lutut, pandangan kosong
menatap langit biru di luar sana. Sesekali jari jemarinya bergerak
menyentuh bibir merah cerry-nya. Ngilu hati menjalari hatinya mengingat
kejadian yang telah terlewatkan beberapa jam lalu. Ia tidak tahu apa
yang dirasakannya. Terkhianati kah? Sedih? Tersakiti? Terhina? Marah?
Atau malah menginginkannya lagi? Perasaan itu bercampur, membaur jadi
satu membentuk nuansa galau dalam hatinya. Rando kenapa kamu harus
melakukan ini padaku? Batinnya. Hembusan napas pelan meluncur dari
mulutnya.
“Apa semalam terjadi sesuatu?” Suara bass seorang
pria berkulit gelap yang mendekat dan duduk di samping gadis itu
membuyarkan lamunan sang gadis. Gadis berambut hitam itu menggeser
tubuhnya, mendekati si pria. Sebuah pelukan hangat menyambutnya. Pria
itu membelai rambut sang gadis dengan lembut. “Apa yang telah terjadi?”
ulang pria itu.
“Aku tak pernah mengerti dengan sikapnya, Kak,” jawab si gadis.
“Kenapa? Apa dia menyakitimu?”
Gadis itu menggeleng. Kurang dari sedetik mengangguk. Si pria berkulit gelap menaikkan alis kanannya, heran. “Jadi?”
“Dia menciumku, Kak,” jawabnya dengan wajah memerah.
“Apa? Hanya karena itu? Hahaha…” Ledak tawa pria
itu terdengar nyaring. “Astaga, Aghni… hanya karena itu kamu marah?”
tanyanya lagi.
Aghni melepas rangkulan kakaknya, melotot dan berkaca pinggang. “Kenapa tertawa?” dengusnya kesal.
Kakaknya, Toni tertawa terpingkal, sampai-sampai ia
harus memegangi perutnya. “Kamu lucu… hanya karena pacarmu menciummu,
kamu jadi seperti ini? astaga….”
“Dia bukan pacarku, Kak!” tegas Aghni.
“Hah? Apa?” ulang Toni.
“Dia bukan pacarku! Bagaimana Kakak bisa berpikiran seperti itu? dia saja tidak pernah menyatakan perasaannya padaku!”
“Benarkah?”
“Ya!”
***
Aryo duduk di balik meja kerjanya. Tumpukan kertas
menggunung di depannya. Hari ini pekerjaannya cukup banyak. Kepalanya
terasa berat, masalah yang menimpanya kali ini membuatnya sangat lelah.
Sesekali Aryo memijat kepalanya, mencoba menghilangkan pusing. Satu per
satu berkas di mejanya ia ambil, membaca, menorehkan tanda tangan lalu
meletakkan ke bagian meja yang masih kosong agar dapat diambil oleh
sekretarisnya nanti. Aktivitas Aryo terhenti saat ia mendapati sebuah
amplop coklat besar yang masih tertutup rapi. Keningnya berkerut. Rasa
penasaran Aryo membuat tangannya bergerak cepat merobek salah satu ujung
amplop, mengeluarkan isi di dalamnya. Belasan lembar foto tersaji.
Matanya melebar memandangi foto-foto itu. Stevan, sebuah nama yang
bercokol dalam benaknya. Tanpa pikir panjang Aryo menutup kembali amplop
itu dan berjalan keluar. Harus ada yang ia selesaikan tentang hal itu.
Harus ada kejelasan yang pasti tentang foto-foto itu.
***
Rando berdiri resah di depan kamar hotel, kamar
yang ditempati Toni. Tangan kanannya terangkat bersiap mengetuk pintu.
Pada detik berikutnya tangan itu turun, enggan melakukan apa yang
diinginkan pemiliknya. Rando ragu, bingung, dan merasa sangat bersalah.
Ia ingin bertemu dengan Aghni, tapi takut melihat gadis itu. “Ah,
mending balik aja!” gumam Rando seraya membalik tubuhnya. Ceklek. Pintu
tiba-tiba terbuka membuat Rando terkejut. Bukan gadis yang disukainya
yang menampakkan diri, melainkan sosok seorang pria bertubuh gelap.
“Kamu mencari Aghni?” tegur Toni. Rando mengangguk ragu. “Setengah jam
lalu dia pulang. Lebih baik kamu selesaikan urusan kamu dengannya
segera. Beri penjelasan yang pasti padanya, dia terlihat sangat
bingung,” jelas Toni.
“Benarkah?” tanya Rando tak yakin. Bola matanya bergerak tak menentu, bingung.
Toni berjalan mendekat lalu menepuk bahu Rando.
“Bicarakan baik-baik saja dengannya dan jangan buat dia kecewa. Aku
sudah menitipkan dia padamu, kamu harus dapat menjaganya baik-baik,”
ujar Toni. Mendengar itu perasaan Rando sedikit tenang, pikirannya tak
serisau sebelumnya. Aku memang harus segera mengatakan perasaanku padanya, tekadnya dalam hati.
Rando balas menyentuh bahu Toni, menatap dengan
binar penuh kenyakinan. “Terima kasih, aku tidak akan mengecewakannya!”
janjinya seraya tersenyum. Rando tak mau membuang waktu. Ia segera
berlari meninggalkan Toni, menuju tujuan awalnya menemui Aghni.
***
Plak. Sebuah tamparan keras mendarat di pipi
seorang pria berumur dua puluhan. Tatapan tajam sang penampar tak luput
mengenai tubuh pria itu. Rasa kecewa yang cukup dalam membuahkan amarah
tak terkendali. Aryo menghempaskan amplop coklat yang ia bawa ke atas
meja ruang tamu rumahnya. Isi amplop itu berceceran, lembar-lembar
kertas yang menampakkan kemesraan tercela antara sepasang anak manusia
berhamburan di atas meja, di lantai bahkan malayang mendarat di atas
sofa. Pria muda di hadapan Aryo melirik kertas-kertas foto itu. Matanya
melebar tak percaya. Bagaimana bisa? Batinnya. “Kamu mau membuat malu keluarga kita!” bentak Aryo. “Selama ini aku mendidikmu dan inikah balasan darimu!”
Tina yang mendengar kegaduhan di ruang tamu segera
menghambur keluar dari dapur. Teh yang telah ia buat ditinggal begitu
saja. Ia terkejut mendapati foto-foto berserakan menampakkan penampilan
tak senonoh anaknya. “Apa yang terjadi sebenarnya?” tanyanya pada Aryo.
Ia bingung dengan apa yang dilihatnya. Aryo diam tak menjawab. Tina pun
beralih memandang anak keduanya, Stevan yang berdiri dengan kepala
tertunduk. “Stevan, jelaskan pada Mama apa yang terjadi sebenarnya? Ini
bohongkan?” ujarnya tak dapat mempercayai bukti nyata yang berserakan.
Stevan terdiam, tak mampu menjawab. Semua itu benar
adanya tapi ia sulit menjelaskan. Terlalu rumit bahkan ia sendiri pun
masih tak mengerti dengan apa yang terjadi. Satu hal yang terbesit dalam
pikirannya ia utarakan untuk sedikit meredam emosi kedua orang tuanya.
“Saat itu Stevan tak sadarkan diri… Stevan tak tahu apa yang terjadi.”
“Jadi itu benar?” pekik Tina. Stevan membuang muka,
tak menjawab. Tina mengartikan gerak Stevan sebagai sebuah jawaban
‘iya’. Tiba-tiba kaki Tina terasa lemas. Ia limbung ke belakang,
terduduk di atas sofa ruang tamu.
Plak! Sekali lagi Aryo mendaratkan tamparan
kerasnya di atas pipi Stevan. “Anak tak tahu diuntung!” seru Aryo dengan
nada tinggi.
“Mas…..!” Tina memekik sekali lagi. Ia tak percaya suaminya akan menngucapkan kata-kata buruk itu untuk anaknya.
*****@(`-`)@****
*****@(`-`)@****
0 komentar:
Posting Komentar