Pukul 11.30 malam. Langit malam begitu hitam. Bulan dan bintang
bersembunyi di balik kelambu awan. Keheningan terasa begitu mencekam
jiwa. Di luar rumah tua dan kosong tempat mereka bersembunyi hanya
terdengar suara jangkrik dan sesekali suara katak yang ribut menanti
hujan. Rumah itu sendiri terletak di ujung sebuah jalan kecil, di dalam
gang yang tak terlalu lebar. Rumah terdekat berjarak sekitar 50 meter
dari rumah itu. Rumah kosong itu dihiasi sesemakan rimbun dan sebatang
pohon mangga besar dan rindang yang menambah kesan seram. Beberapa papan
di dinding sebelah kanan dan kiri tampak rapuh. Namun bagian depan
rumah masih utuh, dengan pintu dan jendela yang tampak kokoh.
“Gimana keadaan di luar, Danar?” Rana berbisik. Ia mengenakan kaus biru, sweater
hitam dan celana jeans warna biru muda. Di depannya hanya ada sebatang
lilin yang menyala redup, sesekali siur angin meliukkan nyala lilin. Ada
dua nasi bungkus di dekat mereka, teronggok begitu saja sebab tampaknya
tak ada yang merasa lapar. Ruangan tempat mereka duduk dulunya adalah
kamar yang cukup luas, terletak agak di belakang rumah. Lantai ruangan
sudah dibersihkan sekadarnya dengan kain bekas yang ada di lemari usang
di kamar samping.
“Ga ada orang, Mbak.” Lelaki muda yang mengintip dari jendela
menyahut pelan. Wajah remajanya tampak kuyu. Keletihan yang begitu dalam
membayang di bola matanya.
“Danar.” Panggil Rana pelan. Remaja itu menoleh. “Duduklah di sini.” Ia menurut.
“Ya, Mbak?”
“Kau mencintaiku?”
“Mbak! Kenapa masih tanya seperti itu? Jelas aku mencintaimu!” Danar mendadak gusar.
“Tenanglah, Sayang, jangan marah. Aku hanya ingin memastikan. Aku
menyesal sekali telah membuat keadaanmu jadi seperti sekarang ini.
Semestinya saat ini kamu menyiapkan diri untuk mulai kuliah, jalan
bareng teman-teman kamu, menikmati dunia remaja. Tapi–”
Sebuah ciuman menghentikan ungkapan penyesalan Rana. Hangat. Rana
yang semula terkesiap, akhirnya luluh dan membalas dengan lembut.
Ah…lelaki ini, kekasihku. Usianya memang masih belia, tapi ia tahu
caranya menyenangkan dan menenangkan hati Rana. Ia yang berusia 12 tahun
lebih tua pun terkadang gentar menghadapi kenyataan yang sedang mereka
alami sekarang. Cinta di antara mereka berdua memang kuat. Meski begitu
apa yang bisa diharapkannya saat memutuskan pacaran dengan ‘anak
ingusan’? Ia ingat pandangan seperti apa yang diberikan orang-orang
ketika mengetahui mereka berdua punya hubungan khusus. Tatapan
mencemooh, merendahkan, bahkan jijik. Rana adalah perempuan yang berusia
jauh di atas Danar. Seorang janda pula.
Bukan sekali dua kali orang tua Danar mendatangi rumah Rana, menyuruh
Rana menjauhi Danar, kadang dengan kata-kata bernada ancaman. Tapi
setiap ia sampaikan hal itu kepada Danar, Danar selalu menguatkan
dirinya, meminta ia bersabar. Sampai suatu malam seseorang tak dikenal
melempari rumah Rana dengan batu yang diselipi selembar kertas berisi
ancaman. Tindakan itu membuat jiwa Rana guncang. Ia meminta Danar
menjauhinya, tapi justru Danar yang mengusulkan agar mereka kabur. Dalam
kekalutan, Rana menyetujui usul Danar. Dan hal itulah yang membawa
mereka sampai di sini saat ini. Bersembunyi seperti tikus ketakutan.
“Aku tidak menyesali apapun, Mbak. Aku memilih kabur bersamamu sebab
aku tahu Papa dan Mama tak akan pernah merestui hubungan kita. Mereka
menganggap tak mungkin tumbuh cinta di antara anak remaja dan wanita
matang seperti kamu. Tapi mereka salah, Mbak. Sangat salah.”
Suara Danar memutus lamunan Rana. Dipandanginya wajah tampan yang
mengguratkan kelelahan. Ditatapnya mata sayu yang menyimpan bara cinta
sedemikian kuatnya. Tangan Rana terangkat, jemari lentiknya membelai
wajah Danar. Sejenak Danar menikmati sentuhan sederhana tapi penuh makna
itu, lalu meraup jemari Rana, menciumnya hangat, dan menangkupkannya ke
dada.
“Besok, ketika keadaan sudah aman, kita akan kabur dari kota ini.
Kita akan memulai hidup kita sendiri, Mbak. Mencari pekerjaan lalu kita
akan menikah!” Mata Danar berbinar demikian bahagia. Rana menatap mata
kekasihnya dengan pandangan haru. Ah, kamu masih begitu muda, Sayang.
Semangat kamu masih tinggi. Sementara kamu belum mengerti sekeras apa
dunia di luar sana, gumam batin Rana.
“Yang jelas, aku tidak mau berpisah denganmu, Mbak. Aku ingin memilikimu selamanya. Menjadi suamimu.”
“Ya, dan saat itu kamu harus mengubah panggilanmu kepadaku. Aku tak mau terus dipanggil ‘Mbak’!” Gurau Rana.
Danar tertawa pelan. Lelucon kecil itu sanggup mengendurkan sejenak
urat saraf mereka yang tegang sejak pelarian mereka kemarin sore.
Keluarga Danar pasti sudah menyadari kepergian anak kesayangan mereka.
Mungkin saat ini mereka sudah minta bantuan polisi. Ah, entahlah. Rana
tak ingin memikirkannya terlalu jauh.
Mendadak suara sirene memecah keheningan malam. Rana dan Danar
terkesiap. Sigap merapatkan badan ke dinding kamar. Jantung mereka
berdegup kencang. Berdoa semoga mereka tak terlihat oleh siapapun yang
ada di luar rumah sekarang. Dengan gerakan perlahan, Danar mengintip ke
luar melalui kain usang yang menutupi jendela tanpa kaca. Wajah
tegangnya segera mengendur.
“Ada kebakaran rupanya, kulihat ada asap tebal di sebelah barat sana.
Tadi mobil pemadam kebakaran yang lewat di depan gang.” Danar
menghembuskan napas lega. Tubuh Rana merosot ke lantai diikuti Danar.
Perasaannya kini semakin cemas. Setiap ada suara di luar rumah, hatinya
langsung berdegup kencang.
Sejenak tak ada yang berbicara. Masing-masing memilih untuk menikmati
sunyi yang hadir lagi. Rana melamun, membayangkan seperti apa kelak
hidupnya jika sudah menikah dengan Danar. Ah, lamunan yang terlalu jauh.
Hati Rana menepis bayangan indah di benak. Yang terpenting, besok pagi
kami harus sudah pergi jauh dari kota ini. Mungkin ke Jakarta. Ya!
Kenapa tidak? Di sana ada banyak pekerjaan. Dia bisa melamar di
restoran, jadi pelayan toko, syukur-syukur dengan ijazah D3 ia bisa
melamar jadi karyawan. Senyum di bibir Rana mengembang. Danar hanya
menunduk di sampingnya sejak tadi.
“Sst, mbak..ada yang datang.” Suara Danar mendadak tegang. Dari balik
kain usang tampak berkas-berkas lampu senter yang menyorot ke seluruh
penjuru rumah. Tiga orang tampak mendatangi rumah itu dari kejauhan.
Hati Rana ciut. Semua khayalan manis menguap begitu saja. Kini dia duduk
tak bergerak di samping Danar. Hatinya cemas, bibirnya gemetar berdoa.
“Ayo! Kita mesti pindah dari sini, Mbak. Mereka orang suruhan Papa. Aku mengenali salah satu dari mereka.”
Tanpa suara, Danar beringsut pelan. Tubuhnya bergeser di sepanjang
dinding kamar, mendekati pintu. Mereka harus bergerak hati-hati sebab
saat keluar dari kamar, tubuh mereka akan gampang terlihat dari luar.
Pintu dan jendela depan rumah memang tertutup rapat, tapi tak ada kain
yang menutupi jendela-jendela itu.
Rana mengikuti apa yang dilakukan Danar. Saat mereka mencapai pintu
kamar, Rana merebahkan diri dan merayap pelan menuju pintu belakang
rumah. Sudah tak dipedulikan lagi pakaian mereka yang kotor menyapu
lantai. Dada mereka berdegup demikian kencang. Setelah mencapai pintu
belakang, Danar menutup rapat daun pintu, bergegas mengendap menjauhi
rumah.
“Ada orang di dalam?” Sebuah suara berat milik seorang lelaki memecah
sunyi. Senter ia sorotkan ke dalam melalui jendela tanpa kaca. Hanya
ada kesunyian yang menjawab pertanyaannya.
Lelaki yang menyorotkan senter memberi isyarat pada dua temannya yang
juga memegang senter. Salah satunya mengangkat ponsel dan mulai
menelepon.
“Ada rumah kosong di dalam gang kecil ini, Pak. Kelihatannya tidak
ada siapa-siapa. Tapi akan kami periksa lebih lanjut ke dalam.”
Lapornya. Sesaat ia hanya diam mendengarkan, mengangguk, lalu mematikan
ponsel.
“Lihat ke dalam, Min! Dul, bantuin!” Kata lelaki itu kepada dua temannya yang memegang senter. “Oke, Jat!” jawab Min.
Dua lelaki yang dipanggil Min dan Dul mengitari rumah itu dari dua
arah yang berbeda. Dul yang bergerak ke arah samping kanan rumah
mengintip ke dalam dan berseru keras.
“Lihat, Jat! Ada lilin! Pasti mereka ada di sini. Ayo, kita dobrak saja!”
Serempak Min, Dul, dan Jat berusaha masuk ke dalam rumah. Min dan Jat
mencoba membuka paksa pintu depan. Tapi sial bagi mereka, pintu itu
tergembok. Membuka paksa hanya akan menimbulkan keributan memancing
perhatian warga sekitar. Dul yang melihat jendela kamar samping bolong
tanpa kaca, mencoba membuka selot. Berhasil!
“Kemari!” Serunya.
Ketiga lelaki itu masuk bergantian ke dalam kamar. Mata mereka liar
menyapu seisi ruangan. Memandangi sebatang lilin yang kini tinggal
separuh. Ada dua nasi bungkus yang belum dimakan dan dua plastik air
minum diletakkan di sudut kamar. Min menyentuhkan jarinya ke salah satu
nasi bungkus.
“Masih hangat,” serunya. Mereka kian semangat mencari ke seluruh penjuru rumah. Nihil! Danar dan Rana tak mereka temukan.
Jat menelepon lagi. “Barusan mereka di sini, Pak. Pasti belum jauh. Kami akan kejar mereka melalui jalan di belakang rumah ini.”
“Ayo!” serunya pada Min dan Dul. Bertiga mereka mengejar Danar dan Rana.
*********
Danar dan Rana terus berlari. Langkah kaki mereka tiba di sebuah
perkebunan sawit. Cucuran keringat meleleh membasahi seluruh tubuh.
Kelelahan lahir dan batin begitu mendera. Sekali Rana terjatuh sebab
kakinya tersangkut akar pohon. Kaki kanan Rana terkilir dan memar. Ia
tak mampu lagi berlari. Danar segera menggendong Rana dan tersaruk-saruk
mereka melanjutkan pelarian.
“Mbak, lihat! Ada gudang di depan. Itu pasti milik perkebunan ini. Kita lihat, barangkali kita bisa sembunyi di sana.”
Rana menyibakkan rambutnya yang menutupi wajah. Matanya berusaha
fokus ke arah yang ditunjuk Rana. Tapi penerangan yang minim membuat
Rana menyerah. Ia memasrahkan semua pada Danar.
Gudang itu pengap dan tanpa penjagaan. Danar dan Rana berhasil
memasukinya setelah mencungkil selot pintu belakang gudang menggunakan
gancu yang mereka temukan tersandar di dinding belakang. Mungkin ini
adalah gudang penyimpanan hasil kebun. Namun saat mereka berhasil masuk,
ternyata gudang itu kosong. Danar menyelot pintu gudang dengan gancu,
sekedar penghalang agar orang luar tak melihat pintu gudang terbuka.
“Masih sakit kakinya, Mbak?” tanya Danar sambil menurunkan Rana perlahan di sudut sebelah kiri dari pintu gudang.
Rana menggeleng dan berusaha tersenyum. Sesungguhnya pergelangan
kakinya teramat sakit. Ia hanya tak ingin menambah beban Danar. Semakin
ia pikirkan semua ini, semakin ia merasa bersalah. Danar masih sangat
muda, masa depannya terbentang luas. Dengan dukungan finansial dari
keluarganya, sangat mungkin hidup Danar akan sukses di masa depan. Tapi
apa yang dilakukannya sekarang? Membuang diri bersamaku? Rutuk hati
Rana.
Danar berjalan mengitari gudang yang tak terlalu luas itu. Matanya
mencari-cari ke seluruh penjuru. Di sebuah sudut ia berhenti. Entah apa
yang sebenarnya ia cari. Sementara Rana terus berperang dengan batinnya
sendiri.
Rana, kau jangan egois! Kecam sebelah hati Rana. Danar masih muda,
jiwanya masih labil. Harusnya kau menasehati dia, bukannya malah setuju
diajak kabur. Sebelah hati yang lain menyahut. Memang dia masih muda,
tapi pendiriannya demikian mantap. Dia lebih dewasa ketimbang usianya.
Sebelah hati Rana mencibir. Lalu, apa akibatnya sekarang, Rana?
Kalian kabur. Jadi pelarian. Masa depan Danar bagaimana? Bisa kerja apa
dia dengan ijazah SMA? Ah! Ijazah SMA pun dia tak punya ‘kan sekarang?
Sadari itu Rana!
Pergulatan hati Rana kian keras. Akhirnya Rana menyerah. Ia telah
tiba pada sebuah keputusan. Keputusan yang seharusnya sudah ia ambil
sejak kemarin.
“Danar, kemarilah!”
Danar menoleh, dan bergegas mendekat lalu berlutut di sebelah Rana.
Wajah Danar tampak khawatir. Di tangannya ada selembar kain untuk
membebat kaki Rana. Sesuatu berkilat di antara lipatan kain itu, tapi
Rana tak begitu memperhatikan. Danar meletakkan kain itu di lantai lalu
mengelus perlahan kaki Rana. “Kakinya sakit lagi, Mbak?”
“Tidak, bukan tentang kakiku. Aku ingin bicara serius padamu.”
Wajah Danar semakin tampak khawatir. Dia mulai menyadari, yang akan dikatakan Rana benar-benar penting.
“Aku ingin kita hentikan saja pelarian kita ini. Kembalilah pada
keluargamu dan……..tinggalkan aku.” Sungguh pedih hati Rana mengucapkan
kalimat ini pada orang yang sangat ia sayangi. Tapi ia tahu, ini yang
terbaik.
“TIDAK! Aku tidak mau, Mbak! Aku sayang kamu, Mbak. Aku rela jadi
seperti ini karena cinta sama Mbak. Aku ingin terus bersama Mbak Rana.”
Danar demikian emosi. Matanya berkilat merah. Napasnya memburu.
“Dengarkan aku, Sayang. Hidup tak selalu berjalan seperti yang kita
bayangkan. Hidup tak selalu indah.” Rana terisak. “Jika terus bersama
aku, hidupmu akan hancur, Sayang.”
Danar menangis. Air mata bercucuran membasahi pipinya. Suaranya kini serak.
“Aku tidak mau, Mbak Rana. Aku tidak mauu.”
Rana merangkul tubuh Danar yang terguncang. Mereka bertangisan
melepaskan beban yang terasa amat menyesak di dada. Berharap
tetesan-tetesan bening itu dapat menyapu bersih penat di jiwa. Berbagi
kekuatan lewat pelukan kekasih yang amat disayangi. Pada saat seperti
itu, tampaklah seperti apa sebenarnya seorang Danar. Ia hanya remaja
yang akhirnya goyah setelah diterpa masalah demikian berat. Semua sikap
dewasa yang dia perlihatkan selama pelarian ini telah hilang tak
berbekas. Dia tak tahan lagi.
Danar mengangkat kepalanya dari dekapan tangan Rana. Cepat ia hapus
air mata yang masih menggenang di matanya. Mata itu, kini terlihat
kembali keras.
“Kalau aku tak bisa hidup bersamamu, aku mau mati saja!”
Rana tersentak. “Danar! Jangan bicara seperti itu! Sadar, Sayang,
hidupmu masih panjang. Mungkin kita bisa ketemu lagi lain waktu.”
“Tidak, Mbak. Tak ada lain waktu. Mbak tahu apa yang dikatakan Papa
padaku kemarin sebelum aku memutuskan kabur? Dia bilang akan
menguliahkan aku di Inggris. Ada saudara Papa yang bersedia menerimaku
di sana. Entah berapa tahun aku akan di sana, Mbak. Aku tidak akan
sanggup!”
Rana menangis. Ya, dia juga tak akan sanggup berpisah begitu lama.
“Dan Mbak tahu apa yang Papa katakan mengenai Mbak? Dia akan
mengadukan Mbak ke polisi dengan tuduhan melarikan anak di bawah umur.
Percobaan penculikan. Atau apapun asal Mbak bisa masuk penjara. Aku
kenal Papa, Mbak. Dia orangnya keras. Dia tak akan mau merestui kita.”
Suara Danar kian meninggi. Mendadak tangannya bergerak ke arah kain
yang tadi ia letakkan di samping kakinya, meraba sebuah benda, lalu
mengacungkan tangannya. Sebuah silet ada di jepitan jemarinya. Rana
menatap ngeri.
”Benda ini yang akan membuktikan cintaku kepadamu, Mbak. Aku akan mencintaimu sampai mati! Sampai mati!”
Tanpa dapat dicegah, Danar menyayatkan silet itu ke nadi tangan kirinya. Sontak darah segar menyembur. Rana histeris.
“Danar! Apa yang kamu lakukan, Sayang? Kenapa nekat begini?” Rana
menghambur memeluk tubuh Danar. Tak dipedulikannya darah yang membasahi
seluruh tubuhnya. Mata Rana melirik ke arah kain yang tadi dibawa Danar.
Bergegas ia bebatkan ke pergelangan tangan Danar. Segera saja kain
kumal itu memerah, basah dengan darah.
Mata Danar meredup tapi bibirnya tersenyum. Tubuh mudanya kehilangan
banyak sekali darah. Kondisinya semakin lemah. Susah payah bibir Danar
bergerak hendak mengucapkan sesuatu. Rana mendekatkan telinganya.
“Rana….aku mencintaimu. Selamanya.” Akhirnya kalimat terakhir keluar dari bibir Danar.
Perlahan kepala Danar terkulai. Matanya memejam dan napasnya tinggal satu-satu. Lalu hilang. Separuh jiwa Rana terasa terbang.
“DANAAAAAAAAARRRR!!!!”
Sementara di luar gudang, Min, Dul, dan Jat tersentak mendengar
teriakan histeris Rana. Tanpa perlu dikomando, serempak mereka menuju
asal suara, sebuah gudang di depan mereka. Tapi pintu gudang tak bisa
dibuka. Ada sesuatu yang mengganjal dari dalam.
“Dobrak, Min!” perintah Dul.
Rana seperti tak peduli dengan keributan yang ditimbulkan tiga lelaki
itu. Batinnya kini kosong. Semangatnya terbang bersama nyawa
kekasihnya. Tubuh Danar yang masih hangat tetap ia peluk erat. Bibirnya
tak mampu lagi menangis.
“Dobrak lagi, Min. Hampir kebuka!”
Kali ini suara Dul seperti menyadarkan Rana. Ia harus lakukan
sesuatu. Mereka tidak boleh menangkapku! Perlahan ia rebahkan tubuh
kekasihnya ke lantai gudang yang dingin. Rana menatap tanpa ekspresi
pada silet berdarah yang tergeletak di samping tubuh Danar. Perlahan ia
raih benda itu, memperhatikannya sebentar, lalu tanpa ragu ia sayatkan
besi tipis dan tajam itu ke nadinya. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Rana
tak lagi peduli. Dia hanya ingin segera menyusul Danar. Pelan tapi
pasti, nyeri menguasai diri Rana.
Perlahan penglihatan Rana memudar. Air mata membayang di pelupuk. Ia
tahu, ini adalah air mata bahagia. Sebentar lagi ia dan Danar bisa
kembali bersama. Rana tersenyum samar. Ia membaringkan dirinya tepat di
samping jasad Danar yang semakin dingin. Dibelainya rambut dan wajah
Danar. Dipeluknya jasad Danar sambil mengecup mesra bibir yang membiru.
“Kekasihku, tunggu aku di pintu surga.”
Tubuh Rana terkulai. Nyawanya terbang sudah, menyusul Danar ke alam abadi.
0 komentar:
Posting Komentar