Hari
itu ulang tahunku. Hari yang menjadi awal kehancuran persahabatanku
dengan kedua orang sahabatku tercinta, Poppy dan Wawan. Kami bertemu dan
menyatu karena cinta, namun cinta pula yang membuat kami akhirnya
berpisah dan tak lagi peduli satu sama lain. Oh, cinta ternyata bisa
juga menghempaskan persahabatan kami.
Pagi yang indah, diantara aku, Poppy dan Wawan.
“ Selamat ultah ya, sayang.” Ucapnya seraya menyerahkan kado.
“ Makasih teman-teman, aku bahagia
karena kita masih bisa akrab hingga sekarang. Meski kita sama-sama
kerja, kita tetap saling mengingat satu sama lain..”
“ Jangan khawatir, Regina. Persahabatan kita akan selalu abadi, iya kan, Pop?” Poppy mengangguk.
“ Walau kita sudah menikah, kita tetap
harus saling kontak dan
tahu keadaan kita masing-masing. “ tambahnya.
Aku makin bahagia. Hari ini ulang tahunku terasa makin sempurna karena
kehadiran mereka.
Bertiga kami berbagi canda dan tawa
sambil menikmati hidangan ulang tahun yang khusus aku siapkan untuk
mereka. Di rumahku yang mungil di kompleks perumahan, aku menjamu
mereka. Ini juga sekaligus untuk syukuran atas rumah yang baru saja aku
renovasi. Sejak tiga tahun mencicil rumah ini, baru sekarang aku bisa
merenovasi dan menempatinya.
“ Rumahmu keren, Regina.” Puji Wawan saat mengelilingi rumahku. Dia berjalan-jalan sambil memegang gelas berisi minuman.
“ Warnanya juga keren, Regin.” Poppy menimpali.
“ Makasih. Anggap saja ini rumah kalian.
Jangan sungkan untuk datang kemari dan menginap. Pintu rumahku selalu
terbuka untuk kalian.”
Wawan terbahak.
“ Jangan begitu, Regina. Kalau aku
anggap rumahku, wah kamu bakal stress. Aku ini sembrono, tidak rapi dan
meletakkan barang kadang aku lupa di mana tempatnya hahahaha..”
“ Kan ada Poppy yang bisa merapikan..hahahaa.” balasku yang di sambut Poppy dengan tawa.
“ Biar aku yang merapikan, ntar kamu yang nyuci pakaian ya…” kami bertiga serempak tertawa.
Hari yang sangat membahagiakan. Bertiga
kami bisa berkumpul dan tertawa bersama. Dulu, setiap saat kami bisa
berkumpul namun sejak kami bertiga kerja dan mulai sibuk dengan segala
macam kegiatan, intensitas pertemuan kami mulai berkurang. Sekarang
kami hanya bisa bertemu seminggu sekali yaitu hari sabtu atau minggu.
“ Ok, Regina. Selamat atas rumah barumu.
Kapan-kapan kalau aku suntuk dan bete, aku akan kabur kemari..” Ucap
Wawan yang bersiap pamit.
“ Janji, ya. Poppy juga.” Aku mengantar
mereka yang beriringan masuk ke dalam mobil masing-masing. Poppy
memelukku sebelum masuk ke dalam mobilnya.
“ Makasih ya, sayang. Hati-hati.” Kataku pada Poppy.
Aku lega, acaraku hari ini berlangsung sukses.
***
Minggu pagi yang indah namun tidak
dengan hatiku. Semalam aku tidur larut karena kedatangan Wawan dalam
keadaan mabuk. Ku kucek mataku dan mulai melihat sekeliling kamarku. Aku
turun dari pembaringan lalu menuju kamar mandi untuk merapikan diri
sebelum keluar.
Langkahku sempoyongan karena masih
kantuk. Hari minggu seperti ini biasanya aku masih tiduran di kamar.
Namun karena Wawan, aku terbangun lebih awal. Aku ingin melihat
keadaannya.
Ku ketuk kamar tidur untuk tamu. Tak ada
jawaban. Ku ketuk lagi tetap tak ada sahutan. Ku sentuh gerendel pintu,
ternyata tidak terkunci. Aku menengok ke dalam, ternyata Wawan masih
tidur. Ku hampiri dan duduk di sisi pembaringan. Kusentuh dahinya. Dia
tidak demam. Syukurlah dia baik-baik saja, batinku.
Aku bangkit lalu menarik kain jendela hingga cahaya matahari menerangi ruangan.
“ Regina, kamu udah bangun..” suara parau Wawan membuatku menoleh.
“ Gimana perasaan kamu sekarang? Udah baikan?” aku mendekatinya. Wawan menarik tubuhnya lalu bersandar di tempat tidur.
“ Kepalaku agak pening. Maaf sudah
merepotkanmu. Aku tidak mungkin kembali ke rumah dalam keadaan mabuk.
Orang tuaku bakal marah.”
“ Aku juga kaget saat melihatmu. Apa kamu ada masalah?”
Kutatap wajah Wawan yang muram.
“ Aku malu padamu. Setiap kali aku ada masalah, aku selalu mencarimu.”
“ Kamu sahabatku. Membicarakan masalahmu sama saja dengan membicarakan masalahku. Bukankah kita sudah sepakat?”
Wawan tersenyum.
“ Tapi sepertinya aku yang selalu meminta bantuan kalian. Aku bahkan lebih dekat dengan kalian daripada dengan keluargaku.”
Kusentuh jemarinya.
“ Jangan seperti ini lagi ya. Aku sedih melihatmu seperti semalam.”
“ Aku janji tidak akan mengulangnya. Karena itu aku kemari. Aku butuh tempat untuk menenangkan diri..”
“ Ok, kamu istrahat saja dulu. Aku turun dulu, ya.”
Kutepuk sekali lagi tangannya lalu melangkah mendekati pintu.
“ Regina! Makasih ya..” sahut Wawan.
“ Iya.” Balasku lalu keluar kamar.
Sejak
hari itu, Wawan menetap di rumahku. Aku tidak memintanya, Wawan sendiri
yang mengutarakan keinginannya agar bisa tinggal di rumahku. Alasan yang
dia kemukakan, karena aku seorang perempuan. Tidak baik tinggal seorang
diri. Pengurus rumah dan sopir hanya datang siang hari, sementara malam
hari aku sendirian. Itu yang menjadi kekhawatiran Wawan hingga berniat
untuk tinggal bersamaku.
0 komentar:
Posting Komentar