RSS

nasrudin_udin17@yahoo.co.id

Tak Seindah Kupu-kupu

       Hari itu ulang tahunku. Hari yang menjadi awal kehancuran persahabatanku dengan kedua orang sahabatku tercinta, Poppy dan Wawan. Kami bertemu dan menyatu karena cinta, namun cinta pula yang membuat kami akhirnya berpisah dan tak lagi peduli satu sama lain. Oh, cinta ternyata bisa juga menghempaskan persahabatan kami.
Pagi yang indah, diantara aku, Poppy dan Wawan.

“ Selamat ultah, Regina.” Wawan mengecup keningku lalu menyerahkan kado mungil. Poppy menyusul dengan senyum manisnya. Dia memelukku dan mencium pipiku.
“ Selamat ultah ya, sayang.” Ucapnya seraya menyerahkan kado.

     “ Makasih teman-teman, aku bahagia karena kita masih bisa akrab hingga sekarang. Meski kita sama-sama kerja, kita tetap saling mengingat satu sama lain..”

          “ Jangan khawatir, Regina. Persahabatan kita akan selalu abadi, iya kan, Pop?” Poppy mengangguk.
“ Walau kita sudah menikah, kita tetap harus saling kontak dan
tahu keadaan kita masing-masing. “ tambahnya. Aku makin bahagia. Hari ini ulang tahunku terasa makin sempurna karena kehadiran mereka.
Bertiga kami berbagi canda dan tawa sambil menikmati hidangan ulang tahun yang khusus aku siapkan untuk mereka. Di rumahku yang mungil di kompleks perumahan, aku menjamu mereka. Ini juga sekaligus untuk syukuran atas rumah yang baru saja aku renovasi. Sejak tiga tahun mencicil rumah ini, baru sekarang aku bisa merenovasi dan menempatinya.

      “ Rumahmu keren, Regina.” Puji Wawan saat mengelilingi rumahku. Dia berjalan-jalan sambil memegang gelas berisi minuman.

“ Warnanya juga keren, Regin.” Poppy menimpali.

      “ Makasih. Anggap saja ini rumah kalian. Jangan sungkan untuk datang kemari dan menginap. Pintu rumahku selalu terbuka untuk kalian.”
Wawan terbahak.

          “ Jangan begitu, Regina. Kalau aku anggap rumahku, wah kamu bakal stress. Aku ini sembrono, tidak rapi dan meletakkan barang kadang aku lupa di mana tempatnya hahahaha..”
“ Kan ada Poppy yang bisa merapikan..hahahaa.” balasku yang di sambut Poppy dengan tawa.
“ Biar aku yang merapikan, ntar kamu yang nyuci pakaian ya…” kami bertiga serempak tertawa.

         Hari yang sangat membahagiakan. Bertiga kami bisa berkumpul dan tertawa bersama. Dulu, setiap saat kami bisa berkumpul namun sejak kami bertiga kerja dan mulai sibuk dengan segala macam kegiatan, intensitas pertemuan kami mulai berkurang.  Sekarang kami hanya bisa bertemu  seminggu sekali yaitu hari sabtu atau minggu.

“ Ok, Regina. Selamat atas rumah barumu. Kapan-kapan kalau aku suntuk dan bete, aku akan kabur kemari..” Ucap Wawan yang bersiap pamit.

       “ Janji, ya. Poppy juga.” Aku mengantar mereka yang beriringan masuk ke dalam mobil masing-masing. Poppy memelukku sebelum masuk ke dalam mobilnya.
“ Makasih ya, sayang. Hati-hati.” Kataku  pada Poppy.
Aku lega, acaraku hari ini berlangsung sukses.
                                                                              ***
       Minggu pagi yang indah namun tidak dengan hatiku. Semalam aku tidur larut karena kedatangan  Wawan dalam keadaan mabuk. Ku kucek mataku dan mulai melihat sekeliling kamarku. Aku turun dari pembaringan lalu menuju kamar mandi untuk merapikan diri sebelum keluar.

       Langkahku sempoyongan karena masih kantuk. Hari minggu seperti ini biasanya aku masih tiduran di kamar. Namun karena Wawan, aku terbangun lebih awal. Aku ingin melihat keadaannya.

        Ku ketuk kamar tidur untuk tamu. Tak ada jawaban. Ku ketuk lagi tetap tak ada sahutan. Ku sentuh gerendel pintu, ternyata tidak terkunci. Aku menengok ke dalam, ternyata Wawan masih tidur. Ku hampiri dan duduk di sisi pembaringan. Kusentuh dahinya. Dia tidak demam. Syukurlah dia baik-baik saja, batinku.
Aku bangkit lalu menarik kain jendela hingga cahaya matahari menerangi ruangan.
“ Regina, kamu udah bangun..” suara parau Wawan membuatku menoleh.

“ Gimana perasaan kamu sekarang? Udah baikan?” aku mendekatinya. Wawan menarik tubuhnya lalu bersandar di tempat tidur.
“ Kepalaku agak pening. Maaf sudah merepotkanmu. Aku tidak mungkin kembali ke rumah dalam keadaan mabuk. Orang tuaku bakal marah.”

“ Aku juga kaget saat melihatmu. Apa kamu ada masalah?”
Kutatap wajah Wawan yang muram.

“ Aku malu padamu. Setiap kali aku ada masalah, aku selalu mencarimu.”
“ Kamu sahabatku. Membicarakan masalahmu sama saja dengan membicarakan masalahku. Bukankah kita sudah sepakat?”
Wawan tersenyum.

“ Tapi sepertinya aku yang selalu meminta bantuan kalian. Aku bahkan lebih dekat dengan kalian daripada dengan keluargaku.”

Kusentuh jemarinya.

“ Jangan seperti ini lagi ya. Aku sedih melihatmu seperti semalam.”
“ Aku janji tidak akan mengulangnya. Karena itu aku kemari. Aku butuh tempat untuk menenangkan diri..”
“ Ok, kamu istrahat saja dulu. Aku turun dulu, ya.”
Kutepuk sekali lagi tangannya lalu melangkah mendekati pintu.

“ Regina! Makasih ya..” sahut Wawan.

“ Iya.” Balasku lalu keluar kamar.


   Sejak hari itu, Wawan menetap di rumahku. Aku tidak memintanya, Wawan sendiri yang mengutarakan keinginannya agar bisa tinggal di rumahku. Alasan yang dia kemukakan, karena aku seorang perempuan. Tidak baik tinggal seorang diri. Pengurus rumah dan sopir hanya datang siang hari, sementara malam hari aku sendirian. Itu yang menjadi kekhawatiran Wawan hingga berniat untuk tinggal bersamaku.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar